Selasa, 03 Desember 2013

Dalihan Na Tolu



 Dalihan natolu (tungku berkaki tiga) secara terjemahan menurut kata adalah wadah atau tempat tuk memasak makanan dijaman dulu.

 Dalihan Na Tolu merupakan Filsafat dan Pola Pikir Masyarakat Batak.

Dalihan na tolu itu sangat universal, latar belakangnya tentu untuk menjaga harmonisasi. 

Konsep Dalihan Na Tolu itu dibangun dengan latar belakang untuk menjaga keseimbangan antar hula-hula, boru dan dongan tubu sesuai dengan posisinya yang dapat berubah sesuai dengan posisi seseorang di marga. Tetap sinkron, dimanapun mereka berada harus harmonis, saling menghormati.



Dalihan Na Tolu merupakan filsafat dan pola pikir masyarakat batak dan jati dirinya di praktekkan dlm acara adat, tanpa dalihan na tolu mungkin adat istiadat Batak Sudah Punah. 

Dalihan Na Tolu, atau "tungku yg tiga" dimana itu adalah tempat masak sederhana, dimana ada tiga tungku yg sejajar lalu ditengahnya diletakkan kayu bakar untuk memasak makanan. Filsafat yg sederhana yg dimulai dari keluarga dan antara keluarga untuk menjaga keharmonisan dan didukung oleh nilai-nilai agama.

Berikut penjabaran singkat tentang makna filsafah Dalihan Natolu dalam kehidupan Batak Toba : 

1. Somba marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.
Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.


2. Manat Mardongan Tubu.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. 
Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A.
Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.

3. Elek Marboru
Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.

Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.